
Relevansi dan Urgensi
Mengkaji kitab Al-Milal wa ‘Nihal adalah salah satu upaya Partai NasDem untuk meminimalisasi eksklusivitas cara pandang, sikap dan aksi masyarakat Muslim terpapar itu. Ini merupakan bagian dari langkah sosialisasi pendidikan politik kepada masyarakat terkait kebhinnekaan dan persatuan dalam bingkai keagamaan. Pemilihan kitab ini dilakukan karena Al-Milal wa ‘Nihal merupakan produk intelektual dalam sejarah Islam yang mengajarkan satu hal penting bahwa perbedaan merupakan hal yang alamiah, biasa dan tak perlu disikapi dengan cara kekerasan. Isi dari kitab itu sendiri adalah kumpulan-kumpulan perbedaan. Syahrastani selaku penulis membuat rekaman perbedaan pemikiran teologis (baik dalam bentuk milal maupun nihal) pada masyarakat Arab di Abad Pertengahan, mulai dari pra-Islam hingga era dia hidup.
Reviu Singkat
Terkait konteks penulisan Al-Milal wa ‘Nihal oleh Syahrastani, setidaknya terdapat dua bentuk kondisi sosio-politik yang melatarbelakangi lahirnya kitab tersebut. Pertama, adanya faktisitas konflik sektarian berkepanjangan di kalangan internal umat Muslim. Pertikaian internal yang berlangsung selama 500 tahun (sejak pertengahan Abad ke-7 hingga 12 M—dari era Utsman hingga akhir Abbasiyah) itu terjadi akibat perbedaan pandangan teologis yang kerap dijadikan sebagai legitimasi politik untuk meraih kursi kekuasaan. Kedua, serangan eksternal dari kaum Kristen yang mengakibatkan Perang Salib berkelanjutan. Ketika Syahrastani berusia 26 tahun, Perang Salib Venesia pecah. Mereka (para tentara Kristen) berhasil merebut Tirus (sekarang: sebuah kota di Gubernuran Selatan di Lebanon) dari tangan umat Muslim. Kabar ini mengguncang dunia Islam secara keseluruhan sehingga ke depan perang atas nama agama ini semakin banyak memakan korban.
Di tengah kondisi krisis semacam ini, sebagai seorang sarjana Syahrastani datang membawa tawaran baru terkait bagaimana seyogyanya umat Muslim memahami perbedaan. Dia tidak datang dengan memakai baju zirah dan pedang di tangannya, meskipun pada usia ke-61 tahun (yaitu pada 1147), Perang Salib kembali meletus di Yarussalem. Dia tidak menawarkan diri menjadi pasukan perang. Dia justru datang dengan membawa buku di tangannya. Di kala umat Muslim sedang bersitegang, baik di kalangan internal maupun dengan pihak eksternal, Syahrastani dengan percaya diri tetap optimis mengajak umat Muslim untuk membuka mata bahwa iman yang benar itu memang harus dijaga namun perbedaan adalah niscaya.
Tujuan
Tujuan terbagi menjadi dua yaitu tujuan umum (al-bughyatu ‘l-‘ám) dan tujuan khusus (al-bughyatu ‘l-khásh). Maksud dari tujuan umum di sini adalah penjelasan mengenai apa saja pembahasan umum dalam Al-Milal wa ‘Nihal yang akan dikaji, sedangkan tujuan khusus adalah penjelasan terkait relevansi kitab ini untuk dibaca dalam konteks politik Indonesia mutakhir.
Desain Kajian
- Diskusi dibuka oleh pengantar diskusi. Pengantar diskusi memberikan sambutan dan gambaran umum tujuan dan desain kajian.
- Penananggap membuka diskusi dengan membacakan 1-2 paragraf teks Al-Milal wa ‘Nihal sesuai tema dan runut bahasan yang akan dikaji. Ambil 1 paragraf yang bisa menjadi bahan penarik diskusi.
- Penanggap mempersilakan narasumber untuk melakukan presentasi tentang kitab Milal wa ‘Nihal sesuai cara pembacaannya.
- Penanggap mempersilakan para peserta untuk melakukan diskusi langsung dengan narasumber.