#

Latar Belakang

Penerapan sistem demokrasi di Indonesia sejak 1999 sampai sekarang masih menyisakan banyak problem di dalamnya yang mengharuskan adanya kajian-kajian akademis sebagai bentuk upaya evaluasi berkelanjutan. Salah satu problem besar yang kerap mendominasi ruang diskursus politik di negeri ini adalah hubungan yang pelik antara isu-isu keumatan—dari kalangan Muslim tentunya selaku mayoritas—dengan sistem demokrasi yang berasal dari Barat. Potret umat Islam di Indonesia berdasarkan sikap politik (political behavior) merupakan fenomena keumatan yang unik karena sikap mereka yang mau menerima sistem demokrasi di tengah saudara-saudara lainnya di Timur Tengah yang justru menolaknya (Mujani, 2007). Bangunan tesis Samuel Huntington mengenai Clash of Civilization (1996), yaitu adanya benturan peradaban antara Barat dan Timur (baca: Islam di Timur Tengah), runtuh oleh temuan Saiful Mujani tentang sikap politik umat Muslim Indonesia. Huntington melihat umat Islam secara pesimistis dengan melakukan generalisasi, sementara Mujani sebaliknya. Mujani berhasil menyodorkan kepada dunia bahwa ada fakta lain yang luput dari perhatian Huntington, yaitu Indonesia. Penduduknya adalah mayoritas Muslim tetapi mereka demokratis. Namun munculnya fenomena kekerasan dari tangan sebagian umat Muslim dan praktik politik identitas dengan memanfaatkan kebebasan alam demokrasi belakangan ini membuat peneliti seperti Sidney Jones dan Jeremy Menchik kembali mempertanyakan kualitas substantif dari penerapan sistem demokrasi di Indonesia. Satu sisi, umat Muslim Indonesia terbukti pro demokrasi. Namun di lain sisi, demokrasi hanya dijadikan sebagai alat untuk memperluas ruang kebebasan mereka dalam melancarkan aksi-aksi kekerasan dan praktik politik identitas.

Dalam rangka mewujudkan harapan tersebut yaitu adanya pelibatan aspek keumatan dalam proses pembangunan bangsa dan pendewasaan demokrasi di negeri ini, Tim Perpustakaan Panglima Itam NasDem Tower menyajikan satu program kajian kitab kuning bertajuk, “Ramadan Bersama NasDem: Bedah Kitab Al-Ahkámu ‘Sulthániyah Karya Al-Mawardi”. Momentum Ramadan kali ini dipilih sebagai pijakan awal untuk kegiatan-kegiatan bahtsu ‘l-kutub untuk bulan-bulan berikutnya. Adapun kenapa kitab tersebut yang dijadikan sebagai bahan kajian karena pertimbangan substansi materi dan konteks politik di zamannya. Kitab tersebut lahir pada abad ke-10 di era kejayaan Dinasti Abbasiyah tepatnya di bawah kekuasaan pemerintahan Al-Qadir Billah (947-1031). Dari subtansi materi di dalamnya setidaknya kerangka pembedahan yang akan dilakukan nantinya adalah ingin melihat: pertama, di zaman Dinasti Abbasiyah, bagaimana umat Islam mencoba membuat suatu tatanan kenegaraan yang menjelaskan hak seseorang untuk memimpin dan dipimpin. Kedua, bagaimana praktik ketatanegaraan abad pertengahan ini memiliki virtue yang menegaskan pentingnya menjadikan sumber-sumber tatanan sosial merujuk pada perilaku Nabi, baik yang dimaktubkan dalam Al-Qur'an maupun Hadits. Ketiga, bagaimana menjadi kitab tersebut sebagai sumber inspirasi, prinsip ketatanegaraan ini dimungkinkan untuk dapat menjadi rujukan bagi praktek pendewasaan demokrasi di Indonesia. Keempat, nilai ketatanegaraan apa dari kitab tersebut yang masih relevan untuk diaplikasikan dalam sistem ketatanegaraan kita di Indonesia?

Tujuan

  • Menakar relevansi sistem ketaganegaraan dahulu dan sekarang.
  • Membumikan gagasan Al-Mawardi dalam konteks demokrasi di Indonesia.
  • Menjadikan best-practice etika ketatanegaraan klasik sebagai panduan bagi penubuhan etika politik bangsa.

Desain Kajian

  • Host membuka diskusi dengan membacakan 1-2 paragraf teks ahkam sesuai tema dan runut bahasan yang akan dikaji. Ambil 1 paragraf yang bisa menjadi bahan penarik diskusi.
  • Host memberikan tafsir kontekstual pada teks yang dibacakan, dan mulai menghubungkan dengan kondisi politik dan demokrasi di Indonesia.
  • Host bisa memberikan uraian tambahan teori politik dan demokrasi kontemporer untuk dipersandingkan dalam gagasan kitab. (15-20 menit).
  • Host memberikan kesempatan pada narasumber untuk membahas tema dan pokok bahasan setiap bab.
    (30-45 menit).
  • Membuka tanya jawab (1 jam).
  • Closing statement dari narasumber.
  • Host memberi resume dan rekomendasi untuk kajian lanjutan terkait tema dan pokok bahasan yang ada.